Ads by Value Media
 Sebagai  manajer, anda pasti menginginkan karyawan anda berkinerja tinggi. Namun  dalam kenyataannya antara keinginan dan fakta dapat mengalami  penyimpangan negatif. Pasti ada masalah yang dihadapi. Pertanyaannya  mengapa demikian?. Padahal, karyawan, katakanlah  sudah berpengalaman  kerja rata-rata lima tahun dengan tingkat pendidikan rata-rata lulusan  diploma. Diduga ada faktor-faktor yang memengaruhinya yakni  ketidak-jelasan peran, rendahnya kompetensi, keragaman sistem nilai yang  dimiliki karyawan, preferensi yang berbeda, dan kurangnya penghargaan.
Sebagai  manajer, anda pasti menginginkan karyawan anda berkinerja tinggi. Namun  dalam kenyataannya antara keinginan dan fakta dapat mengalami  penyimpangan negatif. Pasti ada masalah yang dihadapi. Pertanyaannya  mengapa demikian?. Padahal, karyawan, katakanlah  sudah berpengalaman  kerja rata-rata lima tahun dengan tingkat pendidikan rata-rata lulusan  diploma. Diduga ada faktor-faktor yang memengaruhinya yakni  ketidak-jelasan peran, rendahnya kompetensi, keragaman sistem nilai yang  dimiliki karyawan, preferensi yang berbeda, dan kurangnya penghargaan.(a). Kejelasan peran  karyawan. Peran dapat diartikan sebagai  suatu karakter yang harus dimainkan seorang pelaku; dalam hal ini  karyawan. Bisa juga diartikan sebagai karakteristik dan perilaku sosial  yang diharapkan dari seseorang sesuai posisi dan fungsinya. Dalam  prakteknya peran bisa berbentuk: pertama, peran yang sudah ditetapkan dan, kedua,  peran baru yang dipilih manajer untuk karyawan tertentu sesuai dengan  posisinya. Kalau toh kedua peran itu sudah ada lalu mengapa masih saja  terjadi penyimpangan kinerja. Penyebabnya adalah bisa jadi manajer  sering mengabaikan pentingnya penjelasan peran baru yang dipilihnya  kepada karyawan. Manajer diduga menggunakan asumsi bahwa karyawan sudah  mengetahui jenis peran yang diembannya. Padahal tidak selalu seperti  itu. Karena itu dalam setiap unit harus sudah terdapat apa yang disebut  uraian pekerjaan dan uraian peran yang jelas dan dijadikan acuan kerja  oleh seluruh karyawan dan manajer. Semakin jelas dan terinternalisasinya  uraian peran di kalangan karyawan dan manajer cenderung semakin  kecilnya peluang terjadinya penyimpangan kinerja. Namun kalau karyawan  memperoleh peran baru maka pertanyaannya adalah apakah itu sudah memadai  sesuai dengan kompetensinya?
(b). Kompetensi Karyawan.  Kejelasan peran saja tidak cukup untuk mendongkrak kinerja  karyawan.  Ada faktor lain yang memengaruhi kinerja karyawan yakni faktor  kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi terbagi dua yakni kompetensi  “keras” berupa pengetahuan dan ketrampilan, dan kompetensi “lunak”  berupa sikap, etos kerja, motivasi, prakarsa, kreatifitas dan empati.  Jenis kompetensi yang terakhir sering juga disebut sebagai keahlian  lunak (soft skills). Kompetensi dapat juga dikelompokkan menjadi yang  terlihat dan tersembunyi. Kompetensi yang terlihat seperti  pengetahuan yang dicirikan dengan pemilikan sertifikasi, dan keahlian  yang dicerminkan dengan posisi dan status pekerjaannya yang rutin.  Sementara yang tersembunyi berupa  nilai-nilai, misalnya kemampuan karyawan dalam membuat keseimbangan  antara kepentingan pekerjaan dan keluarga; konsep diri atau kepercayaan  diri; dan kepribadian diri seperti jujur, tenang, motivasi, dan bijak.  Semakin tinggi derajad kompetensi karyawan semakin tinggi pula kinerja  yang dihasilkannya.
(c).  Lingkungan Kerja.  Kalau kejelasan peran dan kompetensi sudah terpenuhi maka  karyawan  akan lebih mampu meningkatkan kinerjanya jika didukung  lingkungan kerja yang nyaman. Lingkungan kerja disini dilihat dari  lingkungan fisik dan non-fisik. Lingkungan fisik antara lain berupa  fasilitas kerja termasuk peralatan kerja, ruangan, kursi dan meja,  listrik, pendingin ruangan, kebisingan yang rendah, dan alat pengaman.  Sementara lingkungan non-fisik antara lain berupa gaya kepemimpinan  manajer yang partisipatif, kompensasi, mutu hubungan vertikal dan  horisontal seperti kebersamaan serta lingkungan sosial. Semakin nyaman  lingkungan kerja semakin tinggi kinerja karyawannya.
(d).Sistem Nilai. Nilai  adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir  yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar  dalam hidupnya. Konflik yang terjadi antara manajer dan karyawan bisa  jadi karena dipengaruhi perbedaan nilai tentang ukuran kinerja  pekerjaan; apakah dilihat dari proses ataukah hasil; ataukah gabungan  keduanya. Mungkin saja sang manajer menginginkan penerapan model kerja  yang berorientasi hasil. Alasannya karena hasil akan mencerminkan  seberapa jauh kemampu-labaan perusahaan dapat tercapai. Sementara  karyawan berpandangan bahwa keberhasilan kinerja dicerminkan oleh  orientasi proses yang ditunjukan oleh penerapan cara-cara pekerjaan,  sistematika bekerja, koordinasi, dan kontrol kerja dari manajer. Bagi  seorang manajer yang bijak maka dipilihlah kombinasi keduanya yakni  berorientasi proses dan hasil. Dengan cara itu maka “kesepakatan”  penggabungan sistem nilai akan mendorong peningkatan kinerja karyawan.  Semacam “win-win solution, “win-win result”, dan “win-win outcome”.
(e). Preferensi. Kalau  kejelasan peran, kompetensi, dan kesepakatan sistem nilai sudah ada maka  tampaknya tak ada alasan lagi bagi karyawan untuk berkinerja rendah.  Benarkah selalu demikian?. Masih ada faktor lain yang memengaruhinya  yakni derajad kesukaan atau preferensi terhadap pekerjaan tertentu.  Kalau mereka yang tergolong teori Y (suka bekerja, disiplin, dan  bertangung jawab), jenis pekerjaan apapun cenderung siap untuk  dilaksanakan karyawan. Namun bisa saja ada sebagian kecil karyawan  tergolong teori X (tak suka bekerja, malas, dan tak bertanggung jawab),  maka proses dan kinerja karyawannya menjadi rendah. Karena itu manajer  hendaknya dapat mengidentifikasi derajad preferensi seseorang (karyawan)  terhadap pekerjaan yang diberikan kepada karyawan. Tidak jarang  preferensi seseorang sangat dipengaruhi bio-ritmenya. Selain itu sangat  penting dilakukan pengarahan kepada semua karyawan bagaimana bekerja  kompak mutlak diwujudkan. Hal ini mengingat suatu pekerjaan umumnya  dilakukan oleh suatu tim. Satu saja karyawan tidak suka dengan pekerjaan  tertentu maka akan dapat mengganggu suasana kerja tim yang akhirnya  akan mengganggu kinerja tim.
(f).  Penghargaan. Pada  dasarnya setiap manusia, sekecil apapun membutuhkan penghargaan  dari  orang lain. Misalnya butuh disapa, dikasihi, dicintai, ditolong, dan  didoakan. Jadi semacam pengakuan orang lain atas keberadaan diri  individu bersangkutan. Dalam bidang pekerjaan, penghargaan yang  dibutuhkan karyawan tidak saja selalu berbentuk kompensasi finansial  tetapi juga  non-finansial. Kompensasi finansial dapat berupa gaji,  upah, insentif, dan bonus. Sementara kompensasi non-finansial bisa  berupa jenjang karir, piagam penghargaan prestasi, dan ucapan  terimakasih. Mengabaikan penghargaan kepada karyawan sama saja  mengabaikan kebutuhan dasar manusia. Padahal penghargaan adalah unsur  vital dalam membangun motivasi dan kepuasan bagi karyawan untuk  meningkatkan kinerjanya.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan  atau memengaruhi kinerja karyawan di atas telah banyak diteliti. Para  mahasiswa (IPB) bimbingan saya sudah banyak yang melakukannya. Namun  tentunya tidak semua faktor berhubungan atau berpengaruh nyata terhadap  kinerja. Hal itu sangat berkaitan dengan tipe organisasi apakah  berorientasi pada laba atau nir-laba; apakah BUMN atau non-BUMN.  Kemudian kinerja karyawan sangat berkait pula dengan faktor-faktor  kompetensi oranisasi, skala atau ukuran usaha organisasi, karakteristik  perusahaan sebagai organisasi pembelajaran, karakteristik karyawan,  jenis pekerjaan, budaya organisasi, dan gaya kepemimpinan manajer dalam  organisasi. Dengan demikian faktor-faktor yang memengaruhi kinerja  karyawan cenderung beragam dan sangat situasional sesuai dengan kondisi  perusahaan atau organisasi masing-masing.







 
0 komentar:
Posting Komentar